STUDI KASUS KEBUDAYAAN DAN PENDUDUK
"... Bagai jutaan srigala menyerbu kota besar
tempat asal adalah neraka................
Tolong beri tahu aku, bagaimana caranya,
nasib tak pernah berpihak................"
(Iwan Fals)
Itulah gambaran kaum urban yang disampaikan Iwan Fals dalam sebait lagunya yang berjudul "Bunga Trotoar". Pasca-Lebaran, seiring dengan arus balik, tak sedikit pendatang baru yang "membonceng" untuk masuk Jakarta. Namun, digelarnya kembali Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, guna mengantisipasi membanjirnya migran dari daerah pasca-Lebaran ini, dinilai tidak akan menyelesaikan masalah urbanisasi. Pengamat sosial Paulus Wirotomo mengemukakan, pemerintah harus mencari kebijakan yang lebih konstruktif. "Kebijakan itu harus berdasarkan pendekatan akar permasalahannya," ujarnya kepada Suara Karya, di Jakarta, kemarin.
Peraturan yustisi jangan menjadi sebuah penyelesaian yang utama karena hanya cenderung pada masalah kependudukan. Sementara, terjadinya urbanisasi adalah sebuah proses yang alamiah. Pada era modern seperti sekarang ini, menurut pengamat sosial tersebut, setiap orang memang dituntut untuk lebih meningkatkan taraf hidup.
Peningkatan taraf hidup salah satunya adalah dengan cara mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. "Dan itu, saat ini di Tanah Air kecenderungannya hanya bisa diperoleh di kota-kota besar. Salah satunya, ya Jakarta ini," kata Paulus.
Untuk itu, masalah urbanisasi ini sesungguhnya bukanlah problema bagi Pemerintah DKI Jakarta saja. Urbanisasi sebenarnya sudah menjadi masalah nasional. Karena, akar persoalan timbulnya urbanisasi lebih berat pada upaya peningkatan taraf hidup atau perbaikan ekonomi. Jadi, untuk penyelesaiannya perlu adanya kerja sama berbagai pihak terkait. Di situ ada Pemerintah DKI Jakarta, pemerintah daerah lainnya, dan sudah pasti pemerintah pusat.
Harus diciptakan lapangan pekerjaan yang layak di daerah-daerah sehingga mampu membuat orang bisa bertahan di daerahnya masing-masing tanpa harus berbondong-bondong "menyerbu" kota besar. Upaya penciptaan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi warga negara merupakan tanggung jawab bersama, apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah.
Dua Faktor
Penyebab munculnya urbanisasi atau terjadinya migran dari desa ke kota-kota besar diyakini Paulus karena adanya dua faktor. Faktor pertama, karena adanya daya tarik dari gemerlapnya kota besar. Faktor ini menurutnya tidak begitu menimbulkan problem bagi kota tujuan. Pasalnya, sekuat-kuatnya daya tarik sebuah kota, bila si migran merasa tidak mendapatkan apa-apa dari daya tarik itu, maka masih ada kemungkinan dia kembali ke daerah asalnya. "Paling tidak, kalau kena razia kependudukan, dia masih mau disuruh pulang," katanya.
Faktor yang lainnya adalah karena adanya daya dorong. Dan utamanya, ujar Paulus, adalah daya dorong akan kebutuhan hidup yang lebih layak. "Ini yang susah," katanya. Migran yang urban ke kota karena dorongan ingin hidup layak ialah akibat di tempat asalnya tidak ada lagi bisa diharapkan. Dengan demikian, dia akan berupaya bertahan sekuat mungkin di Ibu Kota.
"Jadi, walaupun ada berbagai kebijakan atau dilakukan bermacam operasi, migran macam ini akan bertahan dengan berbagai cara. Dengan kata lain, mereka tidak takut," ujarnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya "kemudahan-kemudahan" memperoleh identitas karena bantuan oknum-oknum di instansi terkait macam kelurahan.
Tidak Manusiawi
Karena itu, pernyataan yang menyebutkan diberlakukannya operasi yustisi tidak manusiawi, tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, ada dua aspek yang bisa diperoleh dari diberlakukannya operasi yustisi. Aspek pertama adalah belajar mendisiplinkan warga masyarakat. Warga didisiplinkan agar mempunyai tanda pengenal atau kartu identitas yang resmi. Ini lebih cenderung pada unsur kependudukan dan demi kepentingan warga itu sendiri di samping pendataan.
Aspek selanjutnya ialah, perlakuan operasi yustisi justru untuk menertibkan Ibu Kota. Jangan sampai karena tidak beridentitas, tidak mempunyai keterampilan, dan tidak memiliki pekerjaan akhirnya hanya menimbulkan persoalan bagi Pemprov DKI Jakarta. Untuk migran macam ini, mereka memang harus dikembalikan ke daerah asal.
Paulus berpendapat, cara-cara yang dilakukan sesungguhnya sudah cukup manusiawi, misalnya mengenai apa saja yang akan dijadikan sasaran operasi yustisi ini sebelumnya telah disosialisasikan terlebih dulu. Kalau toh ada hal yang tidak manusiawi, kembali lagi dia mengatakan, itu merupakan ulah oknum dalam pelaksanaan di lapangan.
Upaya untuk hidup lebih baik memang sudah menjadi konsepsi kebahagiaan manusia yang hakiki. Tidak hanya orang yang berpendidikan rendah atau tidak punya keterampilan, tapi juga orang berpendidikan yang mengalami kesulitan untuk meraih sukses di daerah asal mereka.
Itu pula yang ingin diraih oleh-sebut saja-Sugeng (23), pemuda asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang ikut kakaknya ke Jakarta setelah Lebaran kemarin. Ditemui ketika baru saja turun dari Kereta Api (KA) Senja Utama jurusan Solo-Jakarta, di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, pemuda jebolan universitas negeri di Kota Bengawan Solo itu mengatakan, apapun yang terjadi, dia tetap akan mengadu nasib di belantara Ibu Kota.
Sugeng yang berbekal ijazah sarjana sastra bahasa Indonesia itu mengaku memang tidak mempunyai keterampilan khusus yang memadai, kecuali ijazah yang dimilikinya plus sedikit pengalaman bekerja di kota asal. "Tapi, saya mempunyai alamat beberapa kakak kelas yang sudah bekerja di sini. Mungkin saja mereka bisa membantu saya untuk mendapatkan pekerjaan," ujarnya.
Selama di Jakarta, Sugeng mengatakan, untuk sementara akan tinggal di rumah kakaknya di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat. Kakaknya yang delapan tahun lebih dulu tinggal di Ibu Kota, seperti dijelaskannya, akan menampung dan memasukkannya dalam daftar kartu keluarga di kelurahan tersebut. Dengan demikian, dia berpendapat tidak akan kesulitan untuk memperoleh kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta.
Karena itu, pemuda lajang tersebut merasa tidak perlu takut dengan akan diberlakukannya operasi yustisi. Di sisi lain, dia juga merasa heran, mengapa harus diberlakukan operasi yustisi dan pemulangan pendatang dari daerah. Menurut dia, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan hidup layak di mana pun di Tanah Air ini. "Kalau kita pindah ke Kalimantan atau ke Papua sana, mengapa tidak dipermasalahkan? Kalau mau, agar orang-orang tidak berbondong-bondong ke kota besar, pemerintah harusnya menyediakan lapangan pekerjaan yang layak di daerah-daerah," ujarnya.
Sugeng yang mengaku sempat bekerja membantu temannya pada sebuah percetakan di Solo, Jawa Tengah, mengemukakan, kalau terus-menerus bertahan di percetakan kecil itu, dirinya tidak dapat berkembang. "Tau sendiri, Mas, zaman sekarang usaha kecil banyak yang terlindas usaha-usaha besar. Apalagi cuma usaha percetakan, saya tidak bisa berharap banyak dari situ," katanya. Untuk itulah, akhirnya dia memutuskan untuk hengkang ke Jakarta. (Budi Seno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar